astakajambi.com,- Industri mode global tak hanya menyumbang emisi karbon dalam jumlah besar, tetapi juga menghasilkan limbah tekstil yang terus menumpuk dan semakin sulit ditangani. Setiap tahunnya, limbah berupa serat kain, sisa potongan bahan, dan pakaian yang dibuang bisa mencapai lebih dari 92 juta ton.
Ini menjadi persoalan serius karena dalam dua dekade terakhir, produksi tekstil dunia terus meningkat. Jika pola produksi dan konsumsi tidak berubah, volume limbah pun diperkirakan akan semakin melonjak.
Daur ulang tekstil sebenarnya menjadi solusi potensial untuk mengurangi konsumsi sumber daya alam dan dampak buruk terhadap lingkungan. Namun, infrastruktur dan teknologi yang ada saat ini belum mampu mengimbangi besarnya volume limbah yang dihasilkan, sehingga proses daur ulang belum berjalan maksimal.
Dilansir dari Eco Business pada Kamis (10/4/2025), sebagian besar limbah tekstil justru masih ditangani dengan cara yang buruk. Menurut laporan Circle Economy tahun 2024 yang berbasis di Amsterdam, sekitar 61 persen limbah tekstil berakhir di tempat pembuangan akhir atau dibakar, yang dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia.
Lebih dari separuh limbah tekstil juga diketahui berasal dari serat sintetis berbahan bakar fosil seperti poliester, yang tidak bisa terurai dan melepaskan mikroplastik ke tanah. Upaya cepat seperti pembakaran limbah untuk energi pun ikut mencemari udara dengan partikel berbahaya dan gas rumah kaca.
Di Eropa, hanya kurang dari 1 persen limbah tekstil yang berhasil didaur ulang menjadi serat baru. Namun, studi McKinsey tahun 2022 menunjukkan bahwa angka ini bisa meningkat hingga 70 persen jika ada investasi dan peningkatan teknologi yang memadai—sebuah peluang besar untuk menekan dampak lingkungan industri fashion.
Sebagian besar limbah pakaian yang tak tertangani dikirim ke negara-negara di Asia dan Afrika. Di India, misalnya, sekitar 8,5 persen limbah tekstil global diolah di 900 unit daur ulang. Sementara itu, negara-negara seperti Ghana justru kesulitan mengelola limbah impor, yang berakhir menyumbat sungai dan mencemari pantai mereka.
Proses daur ulang tekstil biasanya melibatkan pengolahan kembali pakaian bekas, potongan kain, dan bahan yang tak terpakai menjadi produk baru, baik berupa serat maupun barang bernilai lebih rendah seperti karpet, kain lap, dan kasur. Namun, daur ulang secara mekanis sering kali menghasilkan serat dengan kualitas lebih rendah dibandingkan bahan baru.
Belakangan ini, muncul teknologi daur ulang kimia yang mampu mengurai kain bekas hingga ke tingkat molekul untuk menciptakan serat berkualitas tinggi. Sayangnya, teknologi ini masih tergolong mahal dan belum banyak digunakan.
Selain itu, industri daur ulang tekstil masih didominasi oleh sektor informal, yang membuat pengawasan terhadap alur limbah dan kondisi pekerja menjadi terbatas. Bagi merek-merek fashion, kondisi ini menjadi kendala untuk melacak asal-usul limbah atau ikut berkontribusi dalam peningkatan kapasitas daur ulang.
Sebagai pelengkap upaya daur ulang, para peneliti juga mendorong perubahan desain pakaian agar lebih tahan lama dan mudah didaur ulang. Mereka juga menyarankan promosi perbaikan, penjualan kembali, dan penyewaan pakaian bekas sebagai cara untuk mengurangi jejak lingkungan industri mode.
sumber : kompas.com